Kesimpulan tesis ini adalah adanya korelasi antara ayat-ayat yang digunakan oleh MUI Pusat dalam fatwanya tentang jihad dengan pokok pikiran fatwa MUI yang menyatakan bahwa jihad merupakan salah satu inti ajaran dalam Islam guna meninggikan kalimat Allah. Jihad memiliki dua kondisi, dalam situasi damai, implementasi makna jihad dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara dilakukan dengan cara upaya yang bersungguh-sungguh dan berkelanjutan untuk menjaga dan meninggikan agama Allah dengan melakukan berbagai aktivitas kebaikan. Sedangkan dalam situasi perang, jihad bermakna kewajiban muslim untuk mengangkat senjata guna mempertahankan kedaulatan negara.
Dalam tesis ini penulis menilai bahwa surat al-Furqan/25: 52 lebih kuat menjadi dalil adanya bentuk jihad damai daripada ayat yang digunakan dalam fatwa MUI, karena ayat ini menggunakan lafaz jihad dan ini terjadi pada fase Mekkah yang tidak ada jihad perang padanya.
Tesis ini memiliki kesamaan pendapat dengan Abdullah bin Ahmad al-Qadiri (1992), Jamal Al-Banna (2006), Wahbah Zuhaily (1998), Yusuf Qaradhawi (2009) bahwa ayat tentang jihad damai dan jihad perang bisa diamalkan sesuai dengan kondisinya dengan kondisi ayat yang turun pada saat itu, sehingga ayat jihad perang tidak menasakh jihad damai dengan dakwah.
Tesis ini memiliki perbedaan dengan pendapat dari al-Dhahhak bin Mazahim (W. 102 H), al-Rabi’ bin Anas (W. 139 H), Mujahid (104 H), al-Husain bi al-Fadhl (W. 282 H), Musa bin ‘Uqbah (W. 141 H) Qatadah (W. 118 H), dan Ibn al-Jauzi (W. 597) bahwa ayat yang berisi jihad perang menasakh fase-fase jihad sebelumnya yang berarti terdapat perintah bagi umat Muslim untuk memerangi semua orang kafir sampai mereka menyatakan keislamannya atau membayar upeti.