repository ptiq

Makna Kata Awliyâ’ Dalam Al-Qur’an (Studi Komparatif Antara Tafsir Al-Azhar Dan Tafsir Al-Mishbâh)

Fauzan, Burhan Ahmad (2021) Makna Kata Awliyâ’ Dalam Al-Qur’an (Studi Komparatif Antara Tafsir Al-Azhar Dan Tafsir Al-Mishbâh). Masters thesis, Institut PTIQ Jakarta.

[thumbnail of Makna Kata Awliyâ’ Dalam Al-Qur’an (Studi Komparatif Antara Tafsir Al-Azhar Dan Tafsir Al-Mishbâh)] Text (Makna Kata Awliyâ’ Dalam Al-Qur’an (Studi Komparatif Antara Tafsir Al-Azhar Dan Tafsir Al-Mishbâh))
2021-BURHAN AHMAD FAUZAN-2017.pdf - Accepted Version

Download (1MB)

Abstract

Kesimpulan tesis ini adalah: kata awliyâ’ yang terdapat di dalam Al-Qur’an memiliki beragam makna, tergantung dengan konteks permasalahan yang sedang dibicarakan dan dibahas oleh ayat-ayat Al-Qur’an tersebut. Hal demikian berdasarkan hasil pemaparan makna dari segi bahasa (etimologis) yang digali dari kamus-kamus bahasa Arab, secara istilah (terminologis), dan penafsiran para mufassir Al-Qur’an terhadap kata tersebut, baik yang berbahasa Arab maupun bahasa Indonesia. Mereka haya berbeda pada penerapan masing-masing makna kata-kata awliyâ’ yang terdapat di dalam Al-Qur’an, sehingga mengakibatkan terjadinya perbedaan pula pada hasil kesimpulan penafsiran ayatnya. Di dalam Tafsir Al-Azhar karya Buya HAMKA dan Tafsir Al-Mishbâh karya Muhammad Quraish Shihab ditemukan makna-makna kata awliyâ’, 1) pemimpin-pemimpin atau pimpinan, 2) penolong-penolong, 3) pelindung-pelindung, 4) pembela-pembela, 5) wali-wali, 6) teman-teman setia/akrab atau sahabat-sahabat atau kawan-kawan, 7) kekasih-kekasih, 8) pengikut-pengikut, 9) orang-orang dekat (hanya dalam Tafsir Al-Mishbâh), 10) pengurus atau penguasa (hanya dalam Tafsir Al-Azhar), 11) saudarasaudara, dan 12) sembahan-sembahan atau sesembahan (hanya dalam Tafsir Al-Mishbâh). Tidak ditemukan makna pembela-pembela di dalam kedua tafsir tersebut. Buya HAMKA dalam Tafsir Al-Azhar menyatakan bahwa dilarang menjadikan non-muslim, Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin, teman setia/akrab atau sahabat ataupun wali-wali bagi kaum muslimin. Sementara Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbâh mengatakan yang dilarang hanyalah kepada orang-orang non-muslim, Yahudi atau Nasrani yang memusuhi Islam dan umat Islam saja, tidak kepada semuanya. Walau begitu, keduanya sepakat menyatakan bahwa bergaul dan ber-mu’âmalah kepada mereka tidaklah dilarang. Hal menarik yang ditemukan dalam penelitian tesis ini adalah bahwa antara Buya HAMKA dan Muhammad Quraish Shihab, memiliki perbedaan dalam latar belakang hubungannya dengan penguasa atau rezim pemerintahan kala karya tafsirnya ditulis. Tokoh yang pertama berseberangan dengan rezim Orde Lama (masa kepemimpinan Soekarno), bahkan sempat di penjara. Sementara tokoh yang kedua sangat mesra dengan pemerintah, bahkan sedang menjabat sebagai Duta Besar. Tesis ini memiliki kesamaan pendapat dengan Abdullah Darraz (1894-1958 M) yang mengatakan bahwa ketika kita membaca Al-Qur’an, maknanya akan jelas di hadapan kita, tetapi ketika kita membaca kembali, kita akan menemukan makna-makna lain pula yang berbeda dengan makna-makna sebelumnya; juga dengan Mohammed Arkoun (1928-2010 M) yang menyatakan bahwa Al-Qur’an memberikan kemungkinan arti yang tak terbatas dan ayat-ayatnya selalu terbuka untuk interpretasi baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal. Temuan tesis ini makin mengukuhkan adanya perbedaan pandangan mengenai pemimpin non-muslim di kalangan para ulama semenjak dahulu hingga sekarang. Mereka yang melarang di antaranya: Ibnu Katsir (w. 120 H), Ibnu Mundzir (w. 318 H), al-Qadhi „Iyadh (w. 544 H), al-Qurthubi (w. 671 H), Ibnu Hajar al-Haitami (w. 973 H), Hasan al-Banna (w. 1949 M), Sayyid Quthub (w. 1966 M), M. Natsir (w. 1993 M), Abu Bakar al-Jazairi (w. 2018 M), Keputusan Bahtsul Masail Muktamar XXX Nahdlatul Ulama (NU) Tahun 1999 di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur, Keputusan Ijtima‟ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia MUI Tahun 2009 di Padang Panjang Sumatera Barat, dan Tiar Anwar Bachtiar (2016). Sementara yang membolehkan dengan syarat-syarat tertentu di antaranya: al-Mawardi (w. 448 H), Ibnu Taimiyah (w. 728 H), Muhammad Abduh (w. 1905 M), Munawwir Sjadzali (w. 2004 M) dan Nadirsyah Hosen (2017). Metode yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah: metode tafsir maudhû’î, muqarin, penelitian kepustakaan (library research) dan historisbiografi. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif.

Item Type: Thesis (Masters)
Subjects: 200. Agama > 2X1. Al-qur'an dan Ilmu yang Berkaitan
Divisions: Program Pascasarjana > Tesis > Ilmu Al-Quran dan Tafsir
Depositing User: Siti Mariam
Date Deposited: 15 Feb 2022 02:49
Last Modified: 15 Feb 2022 03:04
URI: https://repository.ptiq.ac.id/id/eprint/490

Actions (login required)

View Item
View Item