Kesimpulan disertasi ini adalah rumusan baru tentang sebuah metode dan pendekatan tafsir untuk memahami dan menjelaskan kandungan batin (esoterik) Al-Quran yang penulis namakan sebagai ‘Metode Tafsir Esoeklektik’. Sebuah metode dan pendekatan untuk mendapatkan makna batin (esoterik) Al-Quran dengan menggunakan sejumlah metode tafsir muktabar sehingga membentuk sebuah penafsiran yang lebih utuh dan komprehensif. Disertasi ini merupakan sebuah dukungan terhadap at-tafsîr al-isyârî dan seluruh pengembangannya. Penulis menawarkannya sebagai salah satu penjembatan bagi beberapa persoalan mendasar dalam at-tafsîr al-bâthînî secara umum dan at-tafsîr al-isyârî secara khusus, seperti: persoalan penyingkapan dan penjelasan makna batin (esoterik) Al-Quran. Metode ini juga menjadi salah satu penjembatan relasi antara zhahir (eksoterik) dan batin (esoterik) Al-Quran, sekaligus sebagai salah satu cara terbaik dalam pembacaan teks Al-Quran dan penjelasan kandungan maknanya, baik aspek zhahir (eksoterik) maupun batin (esoterik)-nya secara bersamaan. Dalam disertasi ini, penulis berbeda pandangan dengan sebagian pakar tafsir seperti asy-Syuyûthî, az-Zarkasyî, Ibn Shalâḫ, Ibn Taimiyah dan az-Zanzanî yang menolak secara mutlak at-tafsîr al-isyârî, dan menganggapnya sebagai ajaran aliran bâthiniah yang dibungkus dengan ujaran para sufi. Demikian juga, penulis berbeda pandangan dengan sebagian pendukung attafsîr al-isyârî secara mutlak, seperti: at-Taftazânî, Ibn Aththâ’, Ḫasan Abbâs Zakkî, al-Gazâlî dan Imâm Khomeini. Penulis setuju dengan pandangan Thabâthabâ’î, Hâdî Ma’rifah, Kamâl al-Ḫaidarî dan ‘Alî ar-Ridhâ’î yang memisahkan antara persoalan batin Al-Quran dengan at-tafsîr al-isyârî. Bagi penulis, tafsir apapun bentuknya, seharusnya menggunakan perangkat epistemologi tafsir yang dapat ditangkap dan diterima oleh akal manusia secara umum. Oleh karenanya, penulisan kitabkitab tafsir isyari, khususnya at-tafsîr ash-shûfî al-faidhî dan at-tafsîr ash-shûfîan-nazharî, perlu mendapatkan perhatian dan penyempurnaan baik pada tatanan metode (al-manhaj) maupun sistematika pemaparan (uslûb)-nya. Bagi penulis, aspek batin (esoterik) Al-Quran- sebagaimana pada aspek zhahir (eksoterik)-nya- dapat disingkap dan dituangkan melalui sejumlah epistemologi tafsir yang tercakup dalam ‘Metode Tafsir Esoeklektik’. Hal menarik lainnya dalam penelitian ini adalah perlunya peninjauan ulang terhadap klaim sebagian pakar tafsir seperti adz-Dzahabî, Hâdî Ma’rifah dan ‘Alî ar-Ridhâ’î yang mengkategorikan at-tafsîr ash-shûfî an-nazharî sebagai sebagai salah satu bentuk dari tafsîr bi al-ra’yî al-mardûd. Penulis menganggap at-tafsîr ash-shûfî an-nazharî sebagai salah satu bentuk dari attafsîr al-isyârî yang dituangkan melalui manhaj at-tafsîr al-‘aqlî. Karena ilmuilmu irfan (tawasuf) dalam perkembangannya dikaji secara rasional maka pandangan dunia yang dibangun berdasar pada akal demonstratif (al-‘aql alburhânî) layak untuk diterima sebagai sumber tafsir. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah filsafat hermeneutika (hermeneutic philosophy). Pada ranah ini, tugas seorang peneliti adalah mengkaji asumsi-asumsi dasar suatu teori (ilmu) dan mencari hakikatnya. Asumsi dasar suatu ilmu, metode, hubungan antara subjek dan objek dan juga tolak ukur keabsahan suatu ilmu diurai dan dianalisis. Selanjutnya, peneliti menyampaikan temuan dan gagasan hasil penelusuran tersebut secara logis.