Penelitian ini membuktikan bahwa Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar, mendukung konsep Islam Transformatif dengan cara: pertama menafsirkan ulang teologi Islam dengan penafsiran yang membuat perdebatan teoritis spekulatif dalam teologi Islam menjadi lebih aplikatif untuk menggugah kesadaran manusia atas peran mereka di muka bumi. Kedua, mendukung keberpihakan Islam terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik dan menganggap itu adalah hal yang sama pentingnya dengan sisi Ketuhanan dalam Islam. Ketiga, merumuskan aksi transformasi Islam lewat ta’murûna bi al-ma’rûf, tanhawna ‘an al- munkar, dan tu’minûna bil Lâh, namun lebih menekankan kepada tu’minûna bil Lâh.
Temuan di atas membuktikan bahwa pemikiran Hamka memiliki kesamaan dengan pemikiran Moeslim Abdurrahman dan Kontowijoyo dengan kelebihan Hamka adalah pendasarannya pada Al-Qur’an lewat Tafsir Al-Azhar. Dengan mendasarkan pemikirannya pada sebuah karya tafsir, maka dua hal yang bisa menjadi kekuatan, yaitu: pertama, Islam transformatif bukan didasarkan pada argumen-argumen di luar sumber khas Islam; dan kedua, basis teologis yang dikehendaki oleh Islam transformatif semakin kokoh lewat dalil-dalil Al-Qur’an.
Karena, transformasi sosial adalah sebuah keniscayaan, maka tidak ada penentangan berarti terhadap Islam transformatif ini. Yang ada adalah perbedaan dalam memahami dan menerapkan Islam transformatif itu sendiri hingga menghasilkan pemikiran yang berbeda-beda. Hamka sendiri, dalam hal ini, mempunyai kelebihan dalam basis Al-Qur’an yang dia usung dalam merumuskan Islam transformatif.
Penelitian ini menggunakan metode tafsir Maudhu’i dengan menjadikan Islam transformatif sebagai kata kunci yang mengikuti di belakangnya kata-kata kunci lain seperti mustad’af, teologi, penindasan, humanisme, ma’rûf, dan munkar. Semua kata kunci tersebut dilihat sebagai satu kesatuan yang membentuk gagasan Islam tranformatif.