Kesimpulan tesis ini adalah bahwa enkulturasi perspektif Al-Qur’an memiliki beberapa metode yang dapat digunakan sebagai pendekatan dialogis antara Agama dengan kebudayaan yang pada kemudian, bisa terapkan pada konteks kekinian. Metode enkulturasi perspektif Al-Qur’an ini, memiliki landasan yang tersirat dalam Al-Qur’an, yaitu penanaman nilai Tauhid dan kemaslahatan yang melikupi segala aspek syariah.
Adapun metode enkulturasi perspektif Al-Qur’an adalah dengan melakukan penyesuaian dan adaptasi terhadap kebudayaan asal. Bila kebudayaan tersebut sesuai dengan nilai Islam dan tidak menyelisihinya baik dari segi Tauhid maupun maslahah yang terkandung didalamnya, maka kebudayaan tersebut dapat terus dilestarikan (forwarding culture) dengan tetap berjalan beriringan dengan nilai Islam sebagai pemandunya. Apabila kebudayaan asal memiliki unsur-unsur kesyirikan maupun kemadharatan yang lebih dominan, maka kebudayaan tersebut tidak dapat disandingkan dengan nilai Islam dan harus dihapuskan secara gradual (canceling culture). Metode demikian, memberikan ruang dan waktu bagi pelaku budaya untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan kebudayaan baru yang lebih baik dan sejalan dengan nilai Islam. Kemudian bila unsur kesyirikan dan kemadharatannya masih bisa ditolelir, maka metode yang dapat digunakan adalah dengan merubah aspek ketidaksesuaiannya dan mempertahankan kebudayaannya (changing culture). Metode ini, mendukung kebudayaan asal untuk selalu lestari dan berkembang dengan tidak menafikan nilai-nilai Islam yang datang kemudian.
Kontekstualisasi enkulturasi perspektif Al-Qur’an telah dilakukan oleh para ulama zaman dahulu dalam menyebarkan nilai Islamnya di Indonesia, terutama Walisongo. Beberapa kebudayaan yang bercorak hindu, animism dan dinamisme, perlahan diwarnai dengan nilai Islam yang pada akhirnya akan mendominasi kebudayaan tersebut. Adapun penggunaannya dalam konteks kekinian, bisa diterapkan dengan menganalisa kebudayaan tradisional yang sudah lama eksis di Indonesia maupun kebudayaan barat yang merupakan implikasi dari globalisasi dan kemajuan tekhnologi untuk dilihat kesesuaiannya dengan nilai tauhid dan kemaslahatan, dengan demikian, bisa diambil sikap, apakah kebudayaan tersebut akan diteruskan (forwarding culture), dirubah (changing culture), atau dihapuskan (canceling culture). Kontekstualisasi tersebut juga tidak terlepas pada pentingnya mengadakan peningkatan dan adaptasi unsur enkulturasi yang terdiri dari da’i (agent of enculturation), metode, dan media pada perkembangan kebudayaan yang sangat pesat diera modern ini.
Tesis ini memiliki persamaan dengan: Toshihiko Izutsu (2002), Yusuf Qardhawi (1983), Nasr Hamid Abu Zayd (1994), Muhammad Aswar (2014), Asnawan (2011), Dewi Mufarikhah (2016), Deni Miharja (2014), Suradi (2016), Muh Anas Kholis dan Khalid Rahman (2016), Nurcholis Madjid (2007), Nashuddin (2011), Syaikhuddin (2012), yang menyatakan bahwa nilai-nilai Islam yang universal, dapat diterapkan pada konteks kekinian sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah shalallâhu ‘alaihi wasallam dengan metode enkulturasi yang dialogis dan gradual.
Temuan tesis ini memiliki perbedaan dengan pendapat: Roz Aiza dan Che Zarrina (2015), Louay M Safi (1998), Heri Ruslan (2019), Fathoni (2019), yang menyatakan bahwa hubungan antara agama dengan kebudayaan asal lebih cenderung pada sinkretisme, atau pencampuran antara keduanya yang menurut peneliti, dapat berimplikasi pada rusaknya tatanan sosial maupun agama.
Metode yang digunakan dalam tesis ini adalah metode tafsir tahlîlî dan metode penelitian korelasional untuk mencari ketersesuaian antar variabel dengan objek penelitian. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif.